Bicara politik memang tak ada habisnya. Termasuk yang sedang hangat di provinsi kita saat ini, pemilihan Gubernur (pilgub) Kaltim putaran kedua. Di dalamnya, ada fenomena menarik. Empat partai besar yang mendukung pasangan Achmad Amins - Hadi Mulyadi (AHAD) harus menelan pil pahit saat penghitungan suara cepat (quick count) menempatkan mereka di bawah pasangan Awang Faroek Ishak - Farid Wadjdy (AFI). Bukti parpol sebagai mesin politik yang rusak?
Kepercayaan publik terhadap partai besar mulai menurun. Betapa tidak, 4 partai besar pendukung pasangan cagub dan cawagub AHAD harus menanggung malu. Keempat partai itu yakni Golkar, PDIP, PKS, dan PKB, yang saat ini merupakan penguasa percaturan politik Indonesia.
Ini membuktikan, betapa elit politik partai-partai besar itu tak mampu menguasai grass root, alias akar rumput di bawahnya. Juga, membuktikan, betapa kekuatan figur mampu mengalahkan kekuatan pelaku politik selama ini. Saya jadi ingat, kata-kata Toto Sugiarto, seorang yang pernah tinggal di Asmaba yang kini jadi salah satu politikus, bahwa sebenarnya akar rumput itu penentunya.
Herannya, tim sukses AHAD tak menyadari, betapa tidak efektifnya dukungan Golkar, yang diberikan seminggu sebelum pemungutan suara. Betapa tidak mungkinnya, mengarahkan akar rumput dalam waktu seminggu untuk memilih pasangan tertentu. Bahkan oleh partai sebesar Golkar sekalipun.
PERTARUHAN 2009
Bisa jadi, dukungan partai besar ke AHAD selama ini merupakan pertaruhan menuju Pilpres 2009. Alasannya sederhana. Koalisi empat parpol besar ini adalah koalisi terhebat selama ini di pilkada di Indonesia. Sehingga, kekalahan "sementara" empat partai besar ini di pilgub Kaltim, sedikit banyak bakal berpengaruh pada peta perpolitikan Kaltim di 2009 nanti. Kabar baik bagi para pengurus parpol baru. Kabar buruk bagi mereka yang sudah kawakan di politik Kaltim.
Lantas, siapa elit politik yang paling ketar-ketir saat ini? Untuk elit PKS, rasa sakit hati tentu muncul, jika ternyata dukungan segar yang diberikan Golkar dan PDIP di detik-detik akhir, malah memerosotkan perolehan suara, dibandingkan dengan putaran pertama.
Di Golkar? Tentu ketua umumnya Mahyuddin. Sikap mengejutkan darinya saat menyatakan dukungan pada AHAD tentu harus dibayar mahal, ketika ia tak mampu memberi suara signifikan saat pemungutan suara. Sementara Golkar lainnya, tentu Syaukani saat ini tertawa terbahak-bahak ketika salah satu seterunya, Amins, kalah telak.
Di PDIP, elit-elit seperti Emir Moeis, bisa jadi bakal sedikit terseok-seok, lantaran suara mereka saat menang di Kubar pada putaran pertama, kini malah menjadi milik AFI. Cagubnya dulu, Nusyirwan Ismail? Alih-alih bisa menjadi sekretaris provinsi "era Amins" berkat dukungannya, bisa-bisa ia tak dapat apa-apa kali ini. Lagi-lagi pertaruhan.
Di PKB? Ipong Muchlisonny, yang sedang berebut tampuk pimpinan dengan Syafruddin-nya Muhaimin, pasti bakal lebih ketar-ketir. Kursi anggota DPRD yang dimilikinya terancam hilang. Sementara, jagoannya yakni si Wali Kota Samarinda setali tiga uang dengan nasibnya.
Kesimpulannya
Politik itu abu-abu
Politik itu kejam
Politik itu sadis
Politik itu kotor
Politik itu penipu
Tapi, politik itu perlu
Saya memang bukan orang yang ahli dalam politik. Hanya sekadar iseng ingin membuat catatan singkat tentang pilgub Kaltim kali ini. Bisa diabaikan, bisa dijadikan sebuah kenangan. Semoga catatan ini berguna.